Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate)
Justum et tenacem propositi virum – orang yang adil dan tabah tidak gentar oleh gertakan-gertakan. Justus vide vivit – orang yang adil hidup dengan keyakinan. Judicium non debet esse illusorium, suum effectum habere debet – keputusan hendaknya tidak berupa khayalan, tetapi harus mempunyai kenyataan yang tegas. Kenyataan telah tersaji dimuka sidang Mahkamah penjaga konstitusi dan bangsa ini. Lalu apa? Akankah permohonan pemohon, Prabowo-Sandi ditolak MK? Apakah sebaliknya MK, mahkamah yang mulia ini mengabulkannya?
Sejauh fakta yang tersaji di hadapan sidang majelis Mahkamah, yang terpublikasi melalui media pers, membuat saya tidak memiliki alasan cukup untuk membayangkan kemungkinan pertama. Berdasarkan fakta yang tersaji dan terpublikasi, saya pergi dan masuk ke kemungkinan kedua; dikabulkan sebagian. Harus menunjuk fakta, bukan karena doktrin-doktrin yang disajikan
pada awal artikel ini, itu jelas. Hukum pembuktian MK jelas, mendefenisikan
jenis alat bukti, dan bukti itu harus meyakinkan hakim. Saksi, Saksi Ahli,
Surat, bukti elektronik, semuanya sejauh ini tersaji di mahkamah. Ini alat bukti yang dikenal dalam hukum pembuktian MK, dan MK menggunakan teori pembuktian negatif.
Fakta Selisih Suara
Agus Muhammad Maksum, pria pemberani yang sedari mahasiswa di ITS Surabaya mempelajari fisika, yang begitu kritis terhadap kehidupan social politik, keadilan, ditandai dengan salah satunya mengundang Sri Bintang Pamungkas menjadi narasumber di fakultasnya, mengawali sidang pembuktian itu dengan menerangkan perihal “DPT.” Ini bukti untuk satu dalil pemohon. Orang boleh saja menandai debat menarik antara Maksum, laki-laki top ini dengan dua hakim pada sidang itu dengan makna negatife apapun. Tetapi satu hal, substansi keterangannya kredibel. Dimana letak kredibel kesaksiannya? Krebilitas itu karena keterangannya bersesuaian dengan keterangan Idham, Hermasyah, Soegono dan Jaswar Koto, ahli IT dalam sidang itu.
Maksum bicara DPT tidak kredibel, dan Koto, mantan mahasiswa ITS dalam studio Fisika ini sang ahli pemberani ini menerangkan tentang perbedaan jumlah pemilih di Jawa Timur misalnya. Dalam kata-katanya Koto menegaskan jumlah pemilih pilpres di Jawa Timur sebesar 24.730.395, DPD sebesar 19.541.232, dan jumlah pemilih pada Pilgub 19.541.232. Jelas terlihat perbedaan angka pemilih pada pemilihan presiden, DPD dan gubernur.
Komposisi suara yang diperoleh dua pasangan calon pada pilgub Jawa
Timur sebagai berikut: Pasangan nomor 1 (Ibu Hafifah dan Pak Emil) memperoleh suara sebanyak 10.465. 218 (53,55%) dan pasangan nomor 2 (Gus Ipul dan Ibu Puti Soekarno memperoleh suara sebesar 9.076.014
(46,5%). Total suara sah 19.541.232. Suara tidak sebesar 782.027. Pada titik pernyataan Jaswar logis. Bagaimana menjelaskan tambahan jumlah pemilih sebesar kurang lebih 4 juta dalam waktu tidak lebih dari 9 bulan? Persoalan diatas hilang bila dihubungkan dengan jumlah pemilih untuk DPD, tetapi tidak untuk pilpres. Perbedaan jumlah pemilih DPD dan Pilgub cukup masuk akal, tetapi tidak masuk akal untuk jumlah pemilih pada pilpres.
Krusialnya pemilihan presiden dan DPD, sekali lagi dilaksanakan pada hari yang sama. Pada titik itu masuk akal kata-kata Koto bahwa jumlah pemilih di Jawa Timur tak wajar. Perbedaan jumlah pemilih, dalam penuturan Koto di muka sidang juga terjadi di Jawa Barat. Jumlah pemilih untuk pilpres sebesar 26.758.014, dan jumlah pemilih untuk DPD sebesar 21. 560.000. Jumlah pemilih untuk DPD kurang sedikit dari jumlah pemilih pada pilgub yakni sebesar 21.979.649.
Terdapat selisih suara antara pilpres dengan DPD sebesar 5. 198. 014. Mirip Jawa Timur, terdapat kesesuaian relatif jumlah pemilih DPD dan Pilgub. Tetapi jumlah pemilih pada kedua pemilihan itu –DPD dan Pilgub-
berbeda begitu besar dengan jumlah pemilih pada pilpres. Menariknya, bahkan luarbiasa menarik adalah pilpres dan pemilihan DPD berlangsung pada hari yang sama. Manusia mana yang bisa menjelaskan perbedaan jumlah pemilih yang selebar ini? Kemiripananeh juga ditemukan di Jawa Tengah. Di daerah ini jumlah pemilih untuk pilpres sebesar 21.769.958, sedangkan DPD sebesar 19.419. 199 dan Pilgub sebesar 19.541.649. Terdapat, dalam kata-kata Jaswar, selisih suara antara pilpres dengan DPD sebesar 5.350.649. Mirip Jawa Timur dan Jawa Barat, perbedan signifikan tidak terjadi untuk pemilihan DPD dan Pilgub.
Perbedaan begitu lebar justru terjadi pada pilpres. Lalu manusia mana pula di dunia ini yang memiliki akal waras menjelaskan perbedaan tersebut? Akumulasi jumlah selisih suara pilpres dan DPD pada tiga daerah ini saja, yang menurut penilaian Koto tidak wajar mencapai angka sebesar kurang lebih 15 juta suara. Menariknya fakta yang begitu mematikan ini, sejauh yang terlihat dalam sidang di MK itu tak disanggah, dalam arti dibantah oleh KPU dan pihak terkait dengan adu angka untuk memperoleh keyakinan, misalnya angka yang disodorkan Jaswar salah.
Lalu bagaimana meletakkan fakta itu ke dalam kerangka hukum pembuktian di MK? Fakta ini mau dianggap sampah, ngarang? Fakta ini saja yang diandalkan, hemat saya sudah lebih dari cukup untuk membuat judul artikel ini.
Mantap
Mengambil nalar hukum macam apa untuk diandalkan memukul telak keterangan Agus Muhammad Maksum, are Suroboyo pemberani dan cerdas ini, yang di muka sidang terlihat begitu lugas menerangkan ketidakpastian jumlah pemilih dalam DPT? Menyodorkan argumen macam apa untuk menyanggah, membuat keterangannya terlihat seperti cerita nina bobo?
Terus terang saya tersandra pada nalar adanya “kesesuaian logis dan kuat” dalam kerangka hukum pembuktian atas kedua fakta di atas, fakta keterangan Agus dan keterangan Koto. Semakin kuat kesesuaian itu bila keterangan kedua dihubungkan dengan keterangan Idham dan Soegino. Terasa terlalu sulit untuk menyatakan bahwa keterangan – Agus, Idham, Koto dan Soegiono- tidak memiliki kualifikasi “hasil” perolehan suara.
Fakta di atas mengunci argumen konvensional tentang sesilisih hasil.
Nalar hasil cukup logis diletakan dalam kerangka pikir tidak akan ada pemilih,
bahkan pemilu, bila tidak ada DPT. Perolehan suara adalah ujung hukum DPT.
DPT, dengan demikian dalam nada yang lain adalah awal hukum pembicaraan
mengenai hasil, dan hasil perolehan suara adalah ujung hukum DPT. Disitulah letak rasio logis selisih perolehan suara tidak dapat disandarkan semata-mata pada “kecurangan pada saat pemungutan suara atau penghitungan suara pada semua jenjang penghitungan.
Cukup manis duo Anas dimuka sidang Mahkamah, dengan posisi yang berbeda memberikan keterangan yang satu dan lainnya pada level determinative –memutus atau menentukan- hukum pembuktian saling menguatkan. Manis sekali keduanya menerangkan dengan jelas dan tegas
apa saja yang dikemukakan oleh pejabat-pejabat struktural, yang entah pada saat TOT itu sedang cuti atau tidak menyampaikan hal-hal yang diterangkan keduanya dimuka sidang itu.
Kaidah hukum pembuktian mengharuskan peradilan menandai, dalam makna mengenali sisi-sisi bersesuaian kuat dan logis yang menjadi fakta persidangan itu. Pemilahan fakta, sebelum akhirnya dirangkai satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan merupakan pekerjaan konstruksi atas fakta itu.
Konstruksi atas fakta itu membawa hakim pada penilaian terbukti atau tidak dalil pemohon. Pilah saja keterangan Agus, Idham, Hermansyah, Koto, Prof Soegianto, duo Anas, dua ibu; satu dari Boyolali dan satu lagi, kalau tidak salah dari Barito Kuala, maka segera terlihat kesesuaian logis dan kuat antar satu keterangan dengan keterangan lainnya. Sungguh semoga keliru, tetapi sulit menemukancelah untuk mengenyampingkan adanya kesesuaian antara satu keterangan dengan keterangan lain di antara mereka.
Dalam hukum pembuktian mereka, para saksi pemohon ini berstatus hukum sebagai alat bukti; saksi dan saksi ahli. Nalarnya? Fakta sidang memunculkan nilai adanya kesesuaian logis antara dua alat bukti. Kesesuaian ini memberi nilai bahwa cukup fakta untuk diyakini dalil pemohon terbukti.
Bila alat bukti surat juga dapat menerangkan, misalnya adanya anak di bawah umur yang mencoblos, maka terlalu sulit bahwa sebagian dalil pemohon terbukti dengan meyakinkan. TSM terlihat sangat dekat pada titik ini.
Masih perlukah dalil pemohon tentang status Kiyai Ma’ruf sebagai Dewas pada dua anak BUMN ditimbang? Ya, bagus. Ada keterangan Said Didu seorang dalam soal ini. Tidak diketahui apakah alat bukti itu ditopang dengan alat bukti surat atau tidak? Tetapi apapun itu harus ditimbang. Apapun rasio yang keluar dari timbangan itu, semuanya penting dalam serangkaian aspek lain di luar sengketa ini.
Rangkaian fakta yang tersaji di pers dan berhasil diidentifikasi sejauh ini, yang harus diakui secara jujur tidak selengkap fakta milik Majelis Mahkamah yang terhormat, membawa artikel ini ketitik rasio permohonan pemohon, berpotensi sangat besar dikabulkan sebagian. Apa itu? Pencoblosan ulang pada dua tiga provinsi, terlihat masuk dipusaran ini. Tetapi apapun itu dan di atas semuanya, mari membiasakan diri percaya penuh dan hormat terhadap Majelis Mahkamah yang mulia ini, apapun putusannya. Begitulah seharusnya adab orang merdeka. ***
Jakarta, 26 Juni 2019
[tsc]