Dikutip dari panjimas.com
Oleh : Wildan Hasan
Founder The Intiqad Center
Mari kita mulai dengan sebuah tulisan yang disampaikan oleh salah seorang pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, penggagas Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sahabat karib dari Kyai Haji Noer Ali Bekasi dan Ulama lainnya yang kemudian bersama-sama memperjuangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disampaikan mosi integralnya pada tahun 1950.
Beliaulah Buya Doktor Muhammad Natsir yang pada tahun 1951 menyampaikan keresahannya dalam bentuk seruan, “Jangan berhenti tangan mendayung nanti arus membawa hanyut”. Tulisan tersebut tersimpulkan dalam dua kalimat yang pendek, “dulu kita kehilangan tapi rasa mendapatkan, kini kita mendapatkan tapi rasa kehilangan”.
Beliau sampaikan bahwa selama perjuangan kemerdekaan apapun telah kita korbankan. Harta, nyawa, keluarga, bahkan kekuasaan yang kita miliki masing-masing, semua disumbangkan untuk perjuangan merebut dan meraih kemerdekaan. Namun dari semua serba kehilangan tersebut ada tersirat rona wajah kebanggaan dan kebahagiaan dari rakyat Indonesia, seluruh elemen yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Kenapa? Karena mereka paham seutuhnya bahwa kehilangan itu semua nantinya akan mendapatkan sesuatu yang mulia dan didamba-dambakan yaitu kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Namun kini, beliau sampaikan, justru setelah 6 tahun kita merdeka, mendapatkan kebebasan dari penjajahan, pada tahun 1951 beliau sampaikan keprihatinan tersebut, dan 2 tahun kita telah berdaulat, kita merasakan kehilangan. Pada tahun 1949 Indonesia ini mendapatkan kedaulatannya secara kokoh dan formal – dimana kedaulatan sebuah negara salah satu syaratnya adalah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara berdaulat lainnya -. Haji Agus Salim menteri Muda luar negeri, Profesor Rasyidi menteri agama pertama, dan AR Baswedan -Abdurrahman Baswedan- kakek dari Anis Baswedan dan lainnya bersama-sama sebagai delegasi Indonesia berangkat ke Timur Tengah untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan ke negeri-negeri Arab Islam.
Negeri-negeri Arab Islamlah yang pertama-tama memberikan pengakuan kedaulatan. Mesir, Lebanon, Palestina, Qatar, Arab Saudi dan seterusnya adalah negeri-negeri yang pertama kali memberikan pengakuan kedaulatan kepada negeri ini. Kenapa diawali dengan menemui negeri-negeri Arab Islam, jelas karena ikatan dan kesamaan aqidah dan ukhuwah Islamiyah. Ikatan inilah yang sama sekali memudahkan pengakuan dan dukungan dari sesama negeri Muslim.
Sementara negeri-negeri Barat saat itu, lima di antaranya yang menjajah negeri kita; Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang (Asia) bukanlah negeri-negeri Islam bahkan negeri-negeri penjajah. Negeri-negeri Arab Islam itulah yang pertama kali memberikan pengakuan kedaulatan kepada kita, yang seringkali disalahpahami, difitnah dan dituduh oleh sebagian kalangan yang tidak bertanggung jawab di negeri ini. Padahal tidak satu pun negara-negara Arab pernah menjajah nusantara Indonesia.
Justru setelah kita merdeka, kata pak Natsir, wajah rakyat nampak tidak bahagia dan tidak bangga. Nampak kesusahan dan kesulitan, padahal kita telah mendapatkan apa yang kita damba-dambakan ratusan tahun lamanya yang diperjuangkan dengan susah payah yaitu kemerdekaan bangsa.
Apa yang terjadi? Beliau katakan bahwa yang terjadi adalah munculnya sifat bakhil pada sebagian rakyat Indonesia. Munculnya sifat hubbud dunya, cinta dunia berlebihan. Buya Hamka mengatakan, sudah munculnya sifat-sifat tidak jujur atau sifat suka berbohong yang terjadi di masyarakat Indonesia, yang bukunya tentang itu beliau tulis di Bukittinggi tahun 1949 dengan judul Bohong di Dunia. Semua orang yang berjuang dan berkorban ingin perjuangan dan pengorbanannya dihargai, dinilai, diganti jasanya, ingin dibalas dengan kekuasaan dan harta kekayaan. Orang muncul dengan sifat-sifat serakahnya.
Bahkan dia bakhil untuk menunaikan tugasnya sendiri, kata Pak Natsir. Untuk kepentingannya sendiri saja dia bakhil, apatah lagi untuk kepentingan bersama, kepentingan bangsa, dan kepentingan umat.
Oleh karena itulah beliau mengatakan mengutip satu ayat (39) dalam surat An Nur, kondisi kita sekarang ini seperti orang-orang yang amalnya laksana fatamorgana di padang pasir, dikiranya di kejauhan ada air sejuk yang akan memuaskan rasa haus rasa dahaga namun tatkala didatangi ternyata tidak terdapat apapun. begitulah kondisi kita saat ini, kita sedang berada di tengah arus yang berbahaya dan masih jauh dari tujuan.
Beliau sampaikan pertanyaan kepada kaum muslimin, apakah kondisi saat ini yang kita cita-citakan selama ini? Apakah keadaan seperti ini yang kita harapkan setelah kita mengorbankan nyawa, mengorbankan keluarga, harta kekayaan, dan kekuasaan selama ini sampai tidak tersisa, dimana rumah habis terbakar dan harta habis dirampas oleh penjajah? Inikah hasil dari semua itu?Jawabannya tentu tidak.
Dan kalau jawabannya tidak, maka memang perjuangan kita belum selesai bahkan mungkin baru dimulai. Musuh belum hilang dari tanah air kita. Namun musuh itu berubah bentuk, berubah tempat, berubah waktu. Setelah kita merdeka, PR kita masih banyak bahkan PR yang saat itu diucapkan oleh beliau tahun 1951 masih hadir PR-PR yang sama juga di masa kita saat ini. Hari-hari ini kehidupan rakyat di tanah air sangat berat.
Begitu banyak masalah, beban kehidupan, dan tantangan yang harus dihadapi. Di negeri sendiri, kita menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, liberalisasi ekonomi dan pemikiran, konflik sosial, merebaknya budaya barat, tirani media, tirani minoritas, korupsi birokrasi, eksploitasi kekayaan nasional, berkembangnya aliran-aliran sesat, dekadensi moral, kriminalitas, apatisme publik dan lain-lain. Masalah-masalah ini saling kait-mengkait, terkoneksi secara komplek satu jalur dengan jalur lainnya.
Di tahun 2023 ini ada korupsi dilembaga anti korupsi, ada potensi disintegrasi bangsa, ada degradasi moral yang mengerikan; seorang anak dan ibu kandungnya berbelas tahun berhubungan badan, seorang bapak menggauli anak kandungnya sampai lahir 7 bayi yang kemudian dibunuh semuanya, ada tawuran dan begal yang dilakukan oleh anak-anak remaja kita setiap hari setiap malam, ada politik machiaveli, politik menghalalkan segala cara, politik amoral, berlakunya sistem ekonomi liberal yang semakin menjauhkan jarak antara si kaya dengan si miskin, si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. itulah musuh-musuh kita.
Kita belum selesai. Kita baru di tengah lautan, di tengah gelombang. Kita belum sampai ke tempat berlabuh, ke Dermaga, ke Pelabuhan. apabila kita berhenti mendayung, berhenti berjuang, berhenti berkorban, berhenti mengeluarkan keringat, maka bisa jadi perahu kita, sampan kita akan diseret oleh arus ke tempat yang kita tidak harapkan. Bahkan justru berbahaya bagi perahu kita dan bagi keselamatan kita.
Kemudian beliau bertanya, bagaimana kita bisa melepaskan diri dari jeratan arus yang berbahaya itu? Dari jebakan gelombang yang sangat mematikan seperti itu? Jawabannya adalah mulailah kembali mendayung! Mulailah kita berkeringat lagi, berjuang dan berkorban lagi. Di saat individualisme merebak, sebagian kalangan di negeri ini mementingkan kepentingan-kepentingan pribadinya dan kelompok-partainya semata, di saat pragmatisme merajalela merusak mental anak bangsa, di saat hedonisme mengejar-ngejar harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan sesaat, di saat seperti itu semua virus menghajar kita semua baik pribadi, keluarga maupun bangsa ini.
Maka PR-PR tersebut harus kita selesaikan dengan cara kita kembali mendayung untuk menyelamatkan negeri ini. inilah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin di negeri ini. kita harus berpikir untuk kepentingan bersama, kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi, golongan, kelompoknya saja, partainya saja, tetapi untuk kepentingan bersama bagi kejayaan bangsa Indonesia ke depan.
Marilah kita belajar dan mengambil teladan kepada para pendiri bangsa, yang mereka mendapatkan pendidikan yang cukup di sekolah-sekolah Barat dan dengan hasil didikan itu mereka sebenarnya dapat memilih hidup berkecukupan dengan menjadi pegawai negeri bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda pada saat itu, tetapi mereka memilih terjun berkuah keringat, berbanjir darah bersama rakyat untuk memerdekakan bangsa ini.
Bung Karno yang ketika dibuang ke Ende tahun 1932 menyurati gurunya Tuan Hassan di Bandung “agar membeli buku terjemahannya sehingga dapatlah anak dan istri kami makan pada hari ini”, katanya. Seorang tokoh sebesar Sukarno – menjadi Presiden di kemudian hari – menjual buku agar anak dan istrinya bisa makan. Tidak dapat dibayangkan presiden sekarang ataupun presiden-presiden setelah Sukarno yang menyurati gurunya, menjual buku agar anak istrinya bisa makan. Seorang wakil presiden dan perdana menteri, Hatta, tahun 1950 menginginkan membeli sepasang sepatu bermerk bally, tahun 50-an sepatu ini sangat terkenal, dan sampai wafatnya sepatu tersebut tidak dapat terbeli oleh beliau.
Tidak dapat terbeli oleh seorang wakil presiden, oleh seorang perdana menteri, yang ketika uang terkumpul pada dirinya semua disumbangkan untuk perjuangan kemerdekaan. kliping koran iklan sepatu Bally itu masih tersimpan rapi sampai wafatnya di buku harian beliau.
Syahrir, seorang perdana menteri, harus menjual satu-satunya mesin jahit di rumahnya yang selama ini menjadi mata pencaharian keluarga. Ia jual untuk makan istri dan anaknya. Begitu pula Roem, begitu pula Kasman, Wahid Hasyim, Ki Bagus, dan lain-lain. Pun juga para seniornya, Tjokroaminoto, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Soerkati, A. Hassan, Haji Agus Salim yang rumah kontrakannya senantiasa bocor, yang kalau buang air besar harus ditampung di ember dan dibuang ke sungai karena toiletnya mampet.
Pak Natsir yang pernah menjadi menteri penerangan tiga kali dan Perdana Menteri hanya memiliki satu jas yang sudah bertambal dan hanya memiliki dua baju kemeja yang layak pakai. Kemeja putih yang bernoda tinta di saku bajunya dan kemeja batik biru yang sudah lusuh. Ketika mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, Natsir mengembalikan mobil dinas lalu berboncengan naik sepeda ontel bersama sopirnya kembali ke rumah.
Inilah contoh keteladanan luar biasa, contoh perjuangan dan pengorbanan yang telah diteladankan oleh para pendiri bangsa yang semestinya diteladani oleh para pemimpin kita, oleh para petinggi kita agar rakyat dan pemimpin sama-sama berjuang dan berkorban untuk mengeluarkan bangsa ini dari kondisi keterpurukan. Tidak mungkin terjadi kalau mereka meneladani para tokoh bangsa kita ada seorang Gubernur yang biaya makan minumnya 1 hari 1 miliar, yang tidak mungkin terjadi apabila mereka meneladani tokoh-tokoh bangsa kemudian di sebuah lembaga pemberantasan korupsi terjadi korupsi pula di situ.
Inilah objektivikasi kita untuk memperbaiki kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita saat ini. Haji Agus Salim mengatakan apakah apabila negeri ini miskin tidak memiliki kekayaan alam di bawah tanah dan di atas tanahnya lalu apakah kemudian kita tidak berjuang untuk memerdekakan negeri ini? Tidak! Kita akan tetap berjuang, karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa, memperjuangkan agar terlepas dari penjajahan manusia atas manusia, itu perintah Allah. kita berjuang bukan karena Indonesia ini miskin atau kaya, kita berjuang karena Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melawan penjajahan, untuk mencintai bangsa ini, yang merupakan bagian dari penunaian ajaran Allah dan teladan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Marilah kita saat ini menjadi teladan pula, setelah kita mengambil teladan kepada para tokoh bangsa, kita menjadi teladan bagi anak-anak kita, generasi muda kita. Menjadi teladan bagi pelanjut dan para pemimpin bangsa ke depan. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissalam menjadikan dirinya teladan yang layak dan pantas bagi anaknya sehingga ketika beliau sampaikan, “Allah memerintahkanku untuk menyembelihmu”, anaknya spontan dengan tegas menjawab “Ya aba tif’al ma tu’mar!” wahai Ayahanda kerjakan apa yang Allah perintahkan tersebut.
Salah seorang bakal Capres kita menulis dalam satu bukunya berjudul Merawat Tenun Kebangsaan, ia menyatakan bahwa Ismail saat itu sudah akil baligh, usia belasan tahun sudah dapat berpikir kritis, sudah bisa bertanya dan sudah bisa membantah apabila bapaknya, Ibrahim ini orang yang tidak layak diteladani. Katakan saja Ibrahim ini adalah seorang koruptor, ahli maksiat, ahli kemungkaran, selalu berbohong, ingkar janji, tidak amanah, maka seorang pemuda yang sudah akil baligh secerdas Ismail tentu dia akan berpikir dan tidak akan menjawab Ya aba tif‘al kerjakan wahai Ayahanda yang Allah perintahkan tapi dia akan mempertanyakan perintah itu. Kenapa? Karena Ayahnya tidak layak, tidak pantas untuk diteladani.
Justru karena bapaknya seorang mukmin yang sholeh, yang takwanya bulat kepada Allah, mencontohkan kehidupan yang jujur, amanah dan penuh iman dan amal shalih maka kemudian anaknya yakin bahwa pasti ini benar perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Maka ringan saja bagi Ismail untuk berkata, “wahai Ayahanda kerjakan apa yang Allah perintahkan!”
Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil spirit berkurban sebagai semangat untuk memperbaiki pribadi kita, semangat memperbaiki keluarga kita, semangat memperbaiki kondisi keberagamaan, kenegaraan dan kebangsaan kita, untuk bersama-sama memajukan negeri ini atas dasar keridhaan Allah robbuna tabaroka wa ta’ala dengan menjalankan ajaran-Nya dan ajaran Rasul-Nya menuju _
baldatun thoyyibatun wa Robbun ghofur.